Setapak Sriwedari

Hari itu aku merasa seperti orang yang paling beruntung di dunia ini. Tidak! Ini seperti pahala dari perbuatan baik yang telah kulakukan selama ini – salah satunya adalah menyelamatkan tote bag milik pujaan hatiku. Aku masih ingat betul bagaimana matanya membentuk bulan sabit sempurna ketika menampilkan senyum 100 watt-nya.

“Lu makin lama deket juga ya ama kembang kampus,” celetuk Paris yang membuyarkan lamunanku.

“Lu jangan ngadi-ngadi, Gue kemarin cuma mau ngembaliin tote bag dia terus ngampus bareng. Udah itu doang! Ga pake embel-embel,” Nada bicaraku agak tinggi sambil berusaha menyembunyikan rasa gugupku. Aku masih takut mengakui bahwasanya aku ini memang sudah tergila-gila.

Dia adalah cinta pandangan pertamaku. Terdengar klise tetapi memang begitulah adanya. Aku sudah jatuh hati saat melihatnya untuk pertama kali di aula kampus ketika ospek.

Selama empat tahun mengaguminya secara diam-diam, aku hampir tidak pernah melihat ataupun mendengar hal-hal kurang baik tentangnya. Itulah yang membuatku semakin tergila-gila dan dari sana pula aku merasa takut apabila teman-temanku mengetahui hal ini.

Aku tidak ingin mereka membocorkan ini, apalagi sampai ia mengetahui soal hal ini. Mungkin karena aku tidak ingin dia terpaksa menyukaiku.

‘Terlalu percaya diri banget,’ batinku berteriak tidak yakin bahwa si Kembang Kampus juga akan memiliki perasaan yang sama denganku. Selama empat tahun menjadi pengagum rahasianya, aku belajar bahwa sebaik-baiknya cinta adalah perasaan tulus tanpa mengharapkan ba************n.

Aku sempat menginginkan sebuah imbalan – berharap agar ia juga bisa membalas perasaanku. Aku tidak munafik. Memiliki perasaan tulus itu susah!

Lalu aku tersadar, terlepas dari besarnya perasaan yang kumiliki untuknya. Dia juga berhak menetukan perasaannya sendiri tanpa paksaan dan aku ingin hal itu. Aku ingin ia tertarik padaku seperti apa yang kurasakan empat tahun lalu di aula kampus.

“Jangan telat Kin!!!” Samar-samar teriakan Bang Jay terdengar. Aku menoleh ke arah jam dinding dengan refleks.

“Jancok! Gue telat!!!” umpatku dalam hati saat jam menunjukan bahwa hari ini sudah hampir sore. Tiga puluh menit sebelum pukul lima dan aku baru ingat jika memiliki agenda live session di kafe Bang Jumpol.

Brukkk

Sorry banget! Gue lagi buru-buru.” Kuulurkan tangan kananku – mencoba membantu seseorang yang kutabrak tadi untuk berdiri.

“Gue juga sorry tadi keasikan main hape dan ga liat jalan.” Suaranya yang terdengar lembut itu membuatku mendongkakan kepala. Kembang kampus! Aku melongo. Sindrom gagapku kembali.

“Lo ada acara live session di kafenya Bang Jumpol, kan?” celetuknya. Aku berusaha untuk menjawab pertanyaannya tetapi tidak satu pun suara keluar dari bibirku. Aku terlalu gugup, bingung, dan senang bahwa ada kemungkinan jika dia akan datang ke kafe Bang Jumpol.

“Gue tau dari Kak Thana if that’s what you are about to ask,” jawabnya dengan muka sedikit jutek. Lucu banget! Aku hanya bisa menjerit dalam hati ketika menyaksikan bagaimana bibirnya membentuk huruf o kecil.

“O-oke, lu mau kesana juga?” Memang tidak punya malu. Sudah gagap, masih saja bisa mengajaknya menyaksikan acara live session. Kapan lagi aku bisa memiliki keberanian mengajak seseorang – terlebih ini si Kembang Kampus.

“Gue ada janji sama Kak Thana disana,” jawabnya singkat, padat dan jelas.

“Yaudah bareng gue aja,” timpalku enteng sambil menarik tangannya.

Kulepaskan tangannya ketika sadar bahwa sedari tadi kami bergandengan tangan- lebih tepatnya aku menarik pergelangan tangannya. Ada semburat merah di pipinya saat ia menyadari apa yang telah kulakukan sebelum akhirnya kami sampai di depan mobil.

Sorry…” lirihku. Aku takut melebihi batasan. Tidak! Aku takut dikira tidak sopan olehnya. Itu lebih tepat.

Dia hanya tersenyum simpul.

Mati aku! Aku masih ingin bernapas! Senyumnya tidak baik untuk jantungku. Kuraba dadaku; merasakan betapa cepatnya detak jantungku. Aku berusaha mengatur napasku.

Breathe in.

Breathe out.

Aku membukakan pintu mobil dan mempersilahkannya masuk tanpa melihat ekspresi apa yang sedang ia tampilkan. Persetan jika ia mengira aku ini aneh! Aku hanya tidak ingin mati terkena serangan jantung setelah melihat keindahan hakiki seorang kembang kampus.

Aku mengatur kembali napasku sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesinnya.

Selama perjalanan aku hanya memperhatikan betapa sempurnanya pujaan hati seluruh kampus ini. Hal-hal kecil yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri hari ini akan selalu kusimpan dalam memori terbaikku tentangnya. Bagaimana tidak – pertama, karena aku telah memiliki keberanian untuk mengajaknya pulang.

Kedua, aku secara tidak langsung mengundangnya ke acara live session-ku. Aku tidak bisa membayangkan ekspresi mereka ketika mengetahui bahwa kembang kampus akan menghadiri acara regular kami di kafe Bang Jumpol.

Wangi parfumnya.

Bulu mata lentiknya.

Kemeja merah yang ia pakai hari ini.

Kalung manik-manik dari acara bakti sosial dua bulan lalu.

Mendung gelap yang menyelimuti matahari sore.

Hal-hal tersebut adalah memori terbaikku hari ini dan aku ingin menabahkannya lagi dengan sebuah lagu dari playlist favoritku. Irama terompet terdengar dari audio mobil dan aku lirik pertama lagu favoritku ini tanpa memper************kan siapa yang ada di sampingku.

‘Lihat langit di atas selepas hujan reda dan kau lihat pelangi.’

Lirik lagu ini memang cocok dengan moodku hari ini. Aku sedang berada di atas awan.

‘Seperti kau di sini hadirkan sriwedari dalam surga duniawi.’

Kuingat kembali tentang memori-memori indah yang pernah kulalui selama menjadi pengagum rahasianya. Aku yang selalu duduk di pojok kantin agar bisa memperhatikannya ketika jam istirahat kampus. Aku yang diam-diam memastikan bahwa dia pulang dengan aman. Sungguh aneh. Aku yang notabene-nya hanya pengagum rahasia. Bagaimana bisa?

Untuk hal itu, aku banyak berterima kasih kepada Pond. Ia dengan sukarela mau menemani si kembang kampus untuk berlama-lama di Kampus, menunggu ketika jam kosong, atau bahkan sekedar mengantarnya ke parkiran mobil.

“Heleh…. Lu tuh sebenernya juga bagian dari kita, Kin” Selalu ucapan itu yang dilontarkan oleh Pond ketika aku menyuruhnya menjadi bodyguard kembang kampus. Ia tidak pernah curiga yang berlebihan.

Oke! Aku memang bucin dan aku tidak malu mengakui hal itu. Bucinku hanya untuk sang kembang kampus seorang.

Kulanjutkan lagi menyanyikan lanjutan dari lagu kesukaanku tanpa menyadari bahwa ada dua pasang mata yang memperhatikanku sedari tadi.

‘Dan kita berpijak lalu kau merasakan yang sama sepertiku.’

Aku, dengan refleks, menoleh ke arahnya. Suaranya bahkan lebih lembut ketika sedang menyanyi. Iya! Si Kembang Kampus bisa menyanyi dan menimpali nyanyianku – seolah mengajakku untuk berduet. Sejujurnya ini adalah pertama kalinya aku mendengarnya menyanyi secara langsung. Aku tidak tahu jika ia memiliki suara emas dan sudah cocok untuk mengikuti kontes idola.

Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan’, batinku kagum. Ia sungguh definisi sempurna tanpa cela. Kutambahakan suara merdunya kedalam hal-hal bahagia yang kuraskan hari ini. No debat! Suaranya kembang kampus semerdu itu dan hanya cocok jika berduet denganku saja.

“Pede gila!” Kubayangkan ekspresi Oab yang mungkin akan mengejekku seperti itu jika aku sudah bertingkah konyol. Ujung kanan dan kiri bibirku secara otomatis terangkat, membentuk dua garis lebar dan menampilkan deretan rapih gigi nan putih yang kata Bunda sudah mirip dengan model iklan pasta gigi. Kulanjutkan kembali dendangan kami.

Kapan lagi aku memiliki kesempatan untuk berduet dengan kembang kampus. Secara privat. Di dalam mobilku. Hanya berdua.

Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang kerumah untuk bertemu Bunda. Aku ingin segera mencium tangan Bunda sembari berterima kasih kepadanya. Ini juga pahala karena aku selalu berusaha menyenangkan hati Bunda walaupun kadang capek juga.

‘Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada. Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara.’

Suara merdunya kembali terdengar. Lirih dan sedikit tegas. Seolah mengajakku untuk kembali melantunkan bait selanjutnya. Inilah definisi bahagia yang sederhana. Sekedar duduk berdua di dalam mobil sembari menikmati playlist favourite dengan orang terfavourite. Aku sungguh bahagia hari ini. Tidak ada yang bisa menganggu kebahagianku hari ini meskipun dosen terkiller baru saja memposting materi dan tugas di Group Chat kelas. Beliau tidak akan memberikan efek negative untukku hari ini.

‘Lihat fajar merona memandangi kita. Seakan tahu cerita tentang semua rasa yang ingin kita bawa tanpa ada rahasia.’

Kutinggikan nada suaraku. Membuatnya terdengar bersemangat. Tuhan, aku tidak ingin menyembunyikanya lagi. Ini senandung hatiku yang sedang ka******aran.

Aku tidak ingin membuang kesempatan dan harus menunggu kembali untuk bisa sedekat ini dengannya. Di sisi lain, aku juga khawatir dengan apa yang akan kuucapkan setelah ini justru membuatnya semakin menjauh dan menganggapku aneh.

Lagu yang kami nyanyikan sudah hampir menuju akhir. Begitu pun dengan perjalanan kami ke kafe Bang Jumpol yang juga akan sampai dalam hitungan menit. Menyisakan beberapa baris lirik sebelum akhirya iramanya berhenti.

‘Dan kita melangkah untuk lebih jauh lagi, lebih jauh lagi.’

Ia menyanyikan lirik berikutnya seperti mantra – menyihir dan menyakinkanku bahwa ada secerca harapan untuk menjadi lebih dekat dengannya. Berharap pada akhirnya kami bisa mengenal saling mengenal tanpa ada penghalang.

Perlahan-lahan, mobil kami sudah memasuki area parkir kafe Bang Jumpol. Kulihat sudah berjejer rapih kursi-kursi dan stage untuk acara live session nanti tapi masih ada sebuah lirik yang ingin kunyanyikan padanya. Melalui lirik terfavoritku ini, aku ingin menyampaikan sejuta rasaku padanya. Aku berharap dia juga merasakan getaranku ini. Tuhan! Kuharap ia telah menerima sinyal dari hatiku ini.

‘Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada. Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara.’

Cup.

Astaga! Aku sudah berapa kali melakukan hal yang kurang sopan kepadanya hari ini. Jantungku berdegup sangat kencang. Hanya suara deru mesin mobil yang mengisi keheningan setelah aku mencium pipinya dengan spontan.

Kupejamkan rapat mataku, terlalu takut untuk melihat kilat amarah dari mata sang Kembang kampus karena kecerobohanku. Kurasakan tangan kanannya menyentuh daguku – membuatku sejajar dengan garis pandangnya. Mataku masih tertutup rapat hingga suaranya membuyarkan ketakutanku.

“Hey…” ucapnya lembut sembari membelai pipi kanaku. Kuberanikan diri untuk membuka mata perlahan.

What a beautiful sight to behold! Aku tidak pernah memandangnya sedekat ini. Tuhan menciptakannya dengan begitu sempurna. Aku baru saja menyadari bahwa ia memiliki tanda lahir bawah matanya. Membuatnya terlihat mengemaskan sekaligus indah. Entah berapa kali aku menyebutkan kata-kata pujian dalam hati.

“Yuk turun! Acaranya mau mulai tuh, Kin” ajaknya dengan senyum 100 watt-nya.

Tatapanku tak pernah lepas dari sosok yang baru saja keluar dari mobiku itu. Aku masih termenung di dalam mobil -mencoba mengingat kejadian apa saja yang telah terjadi hari ini.

Kulihat sosoknya masih berdiri di depan pintu kafe dan lamunanku dibuyarkan oleh nada dering ponselku.

“Jangan kayak keong! Cepetan masuk!” Terdengar suara juteknya diseberang sana.

Aku masih bisa melihat bagamana bibirnya dimanyunkan. Seraya memberikan kode bahwa ia tidak ingin menunggu lama untuk melihat live session-ku.

Sungguh! Ini kecelakaan terindah yang pernah kurasakan.

Series this work belongs to:

文章来源:{laiyuan}

© 版权声明
THE END
喜欢就支持以下吧
点赞12 分享
评论 抢沙发

请登录后发表评论

    暂无评论内容