In The Silence

Kata Bunda, bahagia itu adalah ketika kau mampu bertahan hidup dan mengikhlaskan sesuatu yang bukan milik kita. Dari pernyataan sederhana tersebut, justru membuatku semakin mempertanyakan hal-hal yang telah kulakukan selama ini. 

Selama tujuh tahun berkarir sebagai seorang aktor, aku paham definisi bertahan hidup – lebih tepatnya bertahan hidup untuk tetap bekerja dalam bidang yang kau cintai. Dengan banyaknya talenta baru, pangsa pasar yang terus berkembang – belum lagi tekanan yang didapatkan seorang aktor dari lingkungannya, membuatku semakin yakin bahwa aku survivor handal. 

Teringat akan pengorbanan yang telah kulakukan untuk mencapai titik ini tidak lah mudah. Meskipun aku terlahir dari keluarga yang sangat tercukupi, keluargaku sempat menolak keputusan yang kubuat untuk tidak menjadi penerus usaha. Kemudian, teman-teman yang suka meremehkan dan tidak ingin berhubungan denganku karena ingin menghindari skandal. Lalu, ditambah dengan tekanan yang didapatkan dari lingkungan industri itu sendiri, dimana setiap orang diharuskan tampil sempurna tanpa cacat.

“You need to focus on your part.” Aku memutar mataku, malas mendengarkan instruksi yang disampaikan oleh Guru Aktingku. Ia sudah mengomel sepanjang hari karena aku tidak bisa memuaskan ego-nya untuk berakting gembira di saat ia mengetahui aku baru saja pulih setelah dirawat selama satu minggu akibat GERD.

“Kamu gak papa kan?” Nada bicara Kak Goy penuh kekhawatiran, tangan kanannya berusaha meraih lengan kiriku dan memastikan bahwa suhu tubuhku berada dibatas normal.

Kak Goy merupakan salah satu screenwriter yang telah lama mengenalku. Kami pertama kalinya bertemu saat aku mencoba untuk mengikuti audisi salah satu franchise series terkenal sementara ia telah berhasil mengamankan salah satu peran dalam serial itu. Aku masih ingat betul yang ia katakan saat mengetahui aku tidak mendapatkan peran, ‘To be ready to fail is to be prepared for success’ – kalimat yang akan selalu membakar semangatku dan aku berterima kasih kepadanya atas hal itu.

“I’m okay, Kak” Aku memberikan senyuman seratus watt untuk meredakan kekhawatirannya. Seandainya Kak Goy mengetahui ada peperangan yang sedang terjadi di dalam benakku saat ini, ia sudah pasti akan menceramahiku seperti saat aku putus dengan mantan pacar sekaligus sahabat kecilku, Billkin.

Billkin Putthipong. Satu nama yang masih bisa membuatku merasakan kupu-kupu di dalam perut mesikpun kami sudah tidak saling berkabar selama kurang lebih dua tahun setelah kami memutuskan untuk menyudahi hubungan. *Ah!* Masih bolehkan aku mengetahui kabarnya?

“Kita ke Gyu-Kaku yuk! Udah lama nih ga bakaran sama kamu.” Tawaran Kak Goy membuyarkan lamunanku tentang Billkin.

“Gue kan lagi diet, Kak!” Salah satu hal yang membuatku stress dan moody adalah menurunkan berat badan untuk sebuah projek. Rasanya tidak ikhlas sekali. Aku sebagai penggemar kuliner dan daging, merasa diet itu menyiksa tetapi tugasku sebagai aktor akan selalu menjadi prioritas dan mengalahkan egoku untuk tetap menjadi pecinta kuliner. Kau harus punya niat dan tekad yang kuat agar tidak goyah, itu susahnya dan kali ini aku akan melanggar janji kepada personal trainerku.

“Eh—tapi gak papa deh kalo mau makan di Gyu-Kaku.” Aku tertawa sembari mengaruk belakang kepalaku yang tidak terasa gatal. Kak Goy tergelak melihat kegalauanku untuk tetap diet atau tidak. Ia pun segera beranjak dari kursi dan membereskan barang-barangnya.

“Yay!!! Akhirnya makan daging ditemenin cowok ganteng,” ucap Kak Goy sembari berjalan ke arah pintu keluar.


 

Aku barusan saja akan masuk ke dalam setelah berhasil mendapatkan tempat parkir di restaurant BBQ yang selalu ramai saat makan siang di daerah kami. Lalu, menemukan sosok lelaki bertinggi badan kurang lebih seratus tujuh puluh senti yang sedang berbicara dengan Kak Goy. Ia tampak tidak asing. Aku berjalan perlahan sambil mengatur degup jantungku dan berharap agar semestar tidak sedang mengerjaiku siang ini.

“Billkin?” Suaraku terdengar seperti bisikan namun masih bisa terdengar jelas oleh sosok tersebut.

“Hai?” Ia menolehkan kepala, matanya membulat. Semesta sungguh telah menabuhkan genderang perang dengan diriku kali ini.

“Apa kabar, Kin?” Aku mengulurkan tanganku untuk mengajaknya bersalaman namun tak kunjung dibalas. Aku tesenyum kecut.

Mungkin saja sosok lelaki yang pernah menjadi kekasihku ini masih sakit hati atas apa yang telah kulakukan padanya dua tahun silam. Aku tidak pernah menduakan Billkin saat kami masih berpacaran jika itu yang ingin kalian ketahui. Keputusanku untuk menyudahi hubungan dengan Billkin tidak lain karena berkurangnya komunikasi dan waktu yang kita habiskan sebagai sepasang kekasih. Bukankah komunikasi merupakan kunci dalam sebuah hubungan? Begitulah ucapan yang selalu ia katakan di fase awal kami berpacaran. 

Terlihat mudah dikatakan namun sulit untuk dijalankan. Terlebih untuk kami yang memiliki begitu banyak tuntutan pekerjaan. Billkin tidak pernah menentang keputusanku untuk menjadi seorang aktor, justru ia adalah supporter terbesarku untuk menjalani karir di dunia hiburan.

Aku tidak mengira kesabaran dan dukungannya terhadap karirku justru memisahkan kami berdua. 

“Mumpung kamu disini, gabung aja sekalian Kin?” Jika ini merupakan salah satu cara Kak Goy untuk mencoba membuat kami menjadi teman, maka ia salah. Hubungan kami sudah terlalu rusak untuk bisa diperbaiki kembali.

Ia mendudukkan dirinya di sebelah kanan Kak Goy, tepat di depanku dan bau khas parfum Dior Sauvage segera meyerbu indera penciumanku. Aku suka saat ia menggunakan parfum ini, mengingatkanku dengan liburan kami di Phuket untuk merayakan kesuksesan salah satu filmku.

Ada rasa sesak dan miris saat aku mengingat kembali kenangan tersebut. Seandainya waktu bisa diulang kembali. Seandainya aku lebih memilih Billkin daripada karir. Seandainya masih ada kesempatan kedua untukku.

Pengandaian yang tidak akan terjadi.

“Proyek kamu makin banyak ya, Kin” Kak Goy berusaha mencairkan suasana karena tidak ada satu pun dari kami yang mengucapkan satu kalimat.

“Lumayan kak, cukup buat bayarin salary karyawan lah.” Sifat down to earth-nya masih tetap sama. Aku dan Billkin tumbuh di lingkungan yang hampir sama, keluarga yang cukup mampu. Hal ini tak lantas membuat kami semena-mena meskipun kami bisa dengan mudah merubah keadaan dengan selembar cek. 

“Kamu gak pernah berubah, ya? Tetep humble ya dari dulu!”puji Kak Goy. Itulah Billkin. Ia tidak pernah berubah hanya untuk membuat seseorang menyukainya. 

Kalimat Kak Goy membuatku memperhatikan Billkin dengan seksama. Caranya berpakaian masih sama, hanya menggunakan pakaian yang ia rasa nyaman padahal ia seorang pimpinan perusahaan. Tatapan matanya masih sama, teduh dan damai. Senyumnya juga masih sama, sedikit tengil dan selalu menampilkan lesung pipit di kedua sisinya. 

Sayangnya, hatinya sudah tidak sama seperti dua tahun silam. Mungkin sudah ada orang lain yang menempati hatinya, bukan lagi aku.

“Krit, kok porsi daging aku nambah banyak sih?” protes Kak Goy. Nafsu makanku belum kembali normal setelah dirawat beberapa hari akibat GERD.

Kira-kira Billkin tau gak ya aku abis ngamar gara-gara maag akut?’ Pertanyaan yang tidak pernah berani keluar dari mulutku. Terlalu percaya diri pula jika ia masih mengingat penyakit langgananku ini. 

“Kamu tau gak, Kin? Krit tuh abis ngamar seminggu gara-gara pingsan di lokasi.” Aku meruntuki nasibku yang kurang mujur siang ini saat Kak Goy menjelaskan kondisi kesehatanku kepada Billkin. Aku menyibukkan diri dengan membolak-balikkan panggangan daging, tidak berani menatap ke depan – ke arah Billkin.

Pepatah yang mengatakan marahnya orang sabar jauh lebih menakutkan ada benarnya. Billkin terlihat menakutkan saat ia marah. Ia akan diam seharian tanpa mengubris siapapun termasuk orang tuanya sendiri. Billkin pernah mendiamkanku selama dua minggu saat aku lupa memberikan kabar jika ada syuting di luar kota selama tiga hari. Ia juga akan mendiamkanku selama beberapa hari jika mengetahui maagku kambuh akibat lupa makan. Aku tidak suka melihat Billkin marah; sama saja berbicara dengan patung dan justru membuatku lebih moody hingga salah satu diantara kami harus meminta maaf terlebih dahulu. Dua orang yang sangat keras kepala dan tidak bisa dipisahkan dahulunya. Berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada di hadapaku sekarang. Miris sekali.

“Jangan sampe telat makan, Krit” nadanya datar namun kalimatnya berhasil meruntuhkan pertahanannku. Billkin, bolehkah aku berdoa untuk diberikan kesempatan kedua.


 

Aku mengeliat ke kanan dan ke kiri. Mencoba mencari posisi paling nyaman untuk menyambut kantuk yang tak kunjung datang. Mungkin ini efek dari makan siang tidak sengaja dengan Billkin yang masih menyisahkan kupu-kupu dalam perutku.

‘Aku belum benar-benar move on…’ batinku.

Aku meraba sisi kiri tempat tidurku, mencari ponsel untuk memastikan jika hari masih sore dan aku tidak kembali mengulang kebiasaan begadangku.

“Kamu tuh hobi kok males makan sama begadang, mau jadi apa Pi?” candaan yang akan selalu aku rindukan saat Billkin merajuk karena aku tak kunjung menjemput mimpi. 

Ia adalah seseorang yang terkenal akan ketepatan waktunya, salah satunya soal makan dan tidur. Ia harus makan tepat waktu tujuh jam tiga kali sehari, “Ini tuh salah satu bentuk diet tau, Pi” jelasnya setiap kali aku meledeknya jika dietnya ketahuan tidak berhasil. Ia juga akan berubah menjadi Shrek jika jam tidurnya diganggu. Ia paling tidak suka jika seseorang membangunkannya di tengah malam atau di siang hari saat ia menikmati ‘masa hibernasinya’ meskipun pacarnya sendiri yang meminta tolong, ia tidak akan mengubris.

Aku terkekeh kecil mengingat kejadian-kejadian lucu yang pernah kualami bersama Billkin. Menyalurkan rasa hangat di dalam hati, seandainya mesin waktu doraemon itu benar-benar ada – aku sudah pasti akan memesannya satu.

Ponsel yang berada digenggaman tangan kananku bergetar. Pertanda sebuah pesan telah masuk.

‘Besok kumpul di terminal 1 jam 6,’ Isi pesan singkat Bang Boss, sutradara project film yang kusegani. Aku masih harus bolak-balik Surabaya-Bali selama tiga bulan untuk menyelesaikan syuting film yang akan dirilis pada akhir tahun.

‘Siap Pak Boss,’ kubalas pesannya singkat untuk memberitahukan bahwa aku akan datang tepat waktu.

Ponsel yang berada di tangan kananku tidak lantas kumatikan. Aku membuka contact list dalam ponselku. *Scrolling and keep scrolling* hingga jariku berhenti diatas sebuah kontak bernama ‘BILLKIN’. Aku tidak tahu sudah berapa lama nomer yang sudah dihafal dengan hati ini menghilang dari list incoming dan outcoming calls di ponselku.

Kring… Kring…

Terdengar nada sambung disebrang sana.

“Halo?” Lamunanku dibuyarkan dengan suara seseorang diseberang sana yang sepertinya terbangun karena telepon masuk dariku ini.

“—-Hai Kin?” Aku menyapanya di ujung sana kemudian melihat layar ponselku yang memancarkan cahaya terang dengan tulisan ‘BILLKIN’ pada layar dan waktu pada ponsel menunjukan pukul tiga dini hari. Pantas saja suaranya terdengar serak seperti orang baru bangun tidur.

“Ada apa, Krit?” Ah! Panggilan itu lagi. Aku tidak suka jika Billkin memanggilku dengan nama asli. Itu artinya aku sedang dalam masalah dan ia dalam *serious mode* yang tidak bisa diajak bercanda.

“Oh…Hehe… Sorry tadi kepencet dan keburu kamu angkat.” Benar-benar pembohong ulung Krit Amnuaydechkorn! Sungguh a************n yang tidak masuk akal – menelepon mantan kekasih pukul tiga dini hari dan berkedok tidak sengaja. Bilang saja kau merindukannya, Krit!

“Aku kira ada hal urgent, Krit” Sepertinya ia ingin segera menyudahi pembicaraan ini, ketara sekali dari nada bicaranya yang sama sekali tidak basa-basi.

“Aku ganggu tidur kamu ya?” Pertanyaan retorik yang aku sendiri pun hafal jawabannya.

“—-Gak juga. Tadi abis dari kamar mandi terus denger hape bunyi.” Benar! Billkin hanya akan bangun dari tidurnya jika ia ingin buang air kecil.

“Ini udah mau subuh, kamu gak tidur?” tanyanya dengan nada santai khas Billkin.

“Udah tadi…” jawabku singkat. Billkin sudah pasti bisa menebak jika aku sedang berbohong padanya saat ini.

Dia menghembuskan napasnya dalam, “Tidur Pi, aku tahu kamu ga bakalan tidur kalau udah subuh.” Aku tersenyum mendengar ucapannya. Ternyata ia masih mengingat salah satu kebiasaan jelekku dan ia akan selalu memanggil nama panggilan ketika aku mulai keras kepala.

“Sekalian besok pas aku balik ke Bali,” jelasku padanya. Entah ia mengerti maksudku atau tidak.

“Nanti lo pingsan pas lagi syuting, gimana?” Ternyata ia masih memahami maksudku. Sudah bukan hal umum bagi Billkin untuk melihatku tidak tidur selama dua hari dan akhirnya jatuh pingsan karena kelelahan. Kebiasaan jelekku yang selalu bisa membuatnya naik pitam sekaligus menampakkan sisi lembut seorang Billkin.

“—ehehehehe,” Kikuk dan kehilangan kata untuk menjawab pertanyaan Billkin tadi.

“Putthipong Assaratanakul…” Aku mengucapkan namanya bagai mantra. Mencoba menenangkan detak jantungku yang tak kunjung pelan.

“Hmmm…?”

“Menurut kamu, kesempatan kedua tuh ada gak sih?” Akhirnya aku melontarkan pertanyaan yang mengangguku semenjak bertemu dengannya siang tadi.

Hanya ada deru napas dari ujung sana. Tidak ada kalimat terucap. Pertanyaanku masih belum menemukan jawabannya.

“Aku gak percaya sama second chance tapi aku yakin apa yang kamu usahain sekarang gak akan mengkhianati hasil di masa depan.” Bijaksana sekali pemikirannya.

“Kalau aku usahain buat minta maaf ke kamu, kira-kira di masa depan kita bakalan kayak gimana?” Dengan seluruh keberanian yang tersisa, aku mengibarkan bendera putih kepada semeseta. Berharap ia masih mau berbaik hati kepadaku kali ini.

“Aku sudah maafin kamu jauh sebelum kamu minta maaf dan sejujurnya aku gak tau kita bakalan gimana nanti.” Lega rasanya mendengar jawaban yang ia berikan. Aku anggap ini 
merupakan lampu hijau untuk memperbaiki hubungan kami berdua walaupun hanya sebatas teman.

“Putthipong Assaratanakul, aku masih belum bisa move on.” Aku tidak ingin menutupi kenyataan bahwa aku belum benar-benar bisa move on dari mantan kekasihku ini. Sulit dan tidak akan pernah bisa. Aku masih ingin menjalani hariku dengannya.

“Mungkin aku sudah telat ngomong kayak gini tapi aku gak bisa bohong lagi, Kin” Ia masih diam di ujung sana. Memberikanku waktu untuk merangkai kata demi kata, menyampaikan apa yang selama ini kupendam.

“Aku tahu ini cliché banget. Kamu sudah ada di hidupku dari mulai masih pake pampers. Aku gak tahu kapan rasa sayangku ke kamu mulai tumbuh, aku gak pernah hitung lamanya. Yang aku tahu, aku udah sayang aja sama kamu seperti halnya aku ke ortuku.“ Aku mengambil napas sebelum melanjutkan kembali pidato sepertiga malamku untuk Billkin.

“Kamu itu rumahku, tempatku untuk pulang dan aku gak ngerti cara mencintai orang lain selain kamu karena selama ini yang dinamakan cinta itu bentukannya kayak kamu, Kin” Kuhembuskan napas dalam. Lega rasanya telah menyelesaikan pidato sekaligus pernyataan cinta di sepertiga malam yang menurut pepatah orang berada pada keadaan paling jujur ketika jam menunjukkan waktu dini hari.

Aku mendengar tawa kecil dari ujung sana.

“Kamu tahu gak, Pi? Kenapa aku selalu nyuruh kamu buat tidur?” Aku menggelengkan kepala, benar-benar tidak mengetahui jawaban dari pertanyaannya.

“Karena aku suka lihat kamu tidur, pulas banget dan gak ada beban,” lanjutnya dan sama hal nya denganku, ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.

“Aneh ya? Caramu tidur ada sihirnya, Pi“ Ia terkekeh. Aku pun juga ikut tersenyum mendengarnya. Pantas saja ia selalu naik pitam jika aku begadang.

“Bahkan setelah kita putus, aku masih mikirin kamu tidur nyenyak atau gak. Khawatir siapa yang nemenin kamu tidur. Aku gak bisa bayangin orang lain tidur disampingmu dan itu bukan aku.” Ia memberikan afirmasi kepadaku tentang apa yang ia simpan dan dugaanku benar.

Aku terdiam, memberikannya waktu untuk menyelesaikan kisahnya, “Aku cuma tau kamu sedari kecil dan paham banget sifat kamu kayak gimana. Jadi ketika aku mencoba bayangin buat sayang sama orang lain, aku gak bisa. Aku gak bisa kalo itu bukan kamu. Harus kamu, Pi.”

Terdengar suara deru napas di seberang sana. 

“Aku juga belum bisa move on, Pi…” Suaranya berbisik seolah tidak ingin banyak telinga mendengar fakta yang ia simpan rapat-rapat.

Aku pun tersenyum penuh makna mendengarkan kalimat yang baru saja ia lontarkan. Dan kini, pertanyaanku telah menemukan jawabannya dan semesta mengabulkan doaku di sepertiga malam.

Notes:

The story above is inspired by Pablo Neruda’s Quote on 100 Love Sonnets
We apologise for any mistakes, typos, and similarities between the characters or places. This is purely for entertainment purpose.

Series this work belongs to:

文章来源:{laiyuan}

© 版权声明
THE END
喜欢就支持以下吧
点赞14 分享
评论 抢沙发

请登录后发表评论

    暂无评论内容