“Krit! Sini!” Terdengar suara familiar yang memanggil namaku dari ujung ruangan.
Sore itu, aku memutuskan untuk pulang ke rumah sedikit terlambat dari biasanya; maklum ini kan hari jumat dan esok adalah akhir pekan sehingga aku menyetujui ajakan Kak Thana untuk menyaksikan *live session* di kafe Bang Jumpol. Lumayan lah untuk melepaskan benang-benang kusut dalam pikiranku selama beberapa minggu ini.
“Gue kesana dulu ya,” ucapku pada seseorang yang sedang berdiri dan memasang muka bingungnya di sebelah kiriku. Dia hanya menganggukkan kepalanya tanpa berkata satu kata pun.
Ada yang menganjal batinku ketika melihat tingkahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Raut mukanya berubah serius saat akan memasuki kafe milik Bang Jumpol. Sangat berbanding terbalik dengan apa yang telah ia lakukan kepadaku di dalam mobil tadi. Aku terdiam sebentar sembari mengingat kembali hal-hal tadi kami lakukan bersama dan tidak menemukan sesuatu yang janggal, kecuali tentang ciuman di pipi yang entah disengaja atau tidak.
Mungkinkah seorang Billkin memiliki rasa malu dan bersalah karena melakukan sesuatu yang spontan tanpa*consent*. Padahal, aku sejujurnya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu. Karena menurutku, ciuman di pipi bukan termasuk hal yang melecehkanku. Masih banyak hal-hal spontan yang jauh lebih tidak sopan yang pernah aku alami langsung. Bulu tengkuku meremang setiap kali teringat oleh kejadian kelam itu.
Rasanya lelah menjadi seseorang yang dianggap sempurna oleh orang lain. Aku tidak bisa seenak hati berbicara atau bercanda dengan teman-temanku. Pun, saat aku berada di tempat paling jarang dikunjungi oleh orang masih saja ada yang mengawasiku. Karena hal itu lah, aku sedikit banyak memiliki *trust issue* terhadap apapun yang diberikan kepada seseorang secara cuma-cuma.
Kuhembuskan napas panjang, seolah aku telah menyelesaikan marathon satu kilometer. Lega. Khawatir. Aku hanya tidak ingin ia menjauhiku secara tiba-tiba setelah menyadari sisi gelapku ini.
“Selamat Malam!” Suara khas dari Bang Jumpol menyapa para pengunjung kafe. Suasana kafe mendadak menjadi ramai dan penuh dengan energi positif. Maklum, acara *live session* di kafe milik kakak tingkat yang terkenal akan ucapan ceplas-ceplosnya ini – merupakan kegiatan *hype* bagi mahasiswa di kampus. Acara yang awalnya hanya ditujukan khusus untuk anggota UKM Musik ini menjelma menjadi acara musik yang paling ditunggu oleh khalayak umum setiap minggunya. Selain menjadi pemilik kafe, Bang Jumpol juga merupakan donatur dari acara *fardhu’ ain* untuk disambangi mahasiswa ini. Dibantu oleh Bang Tawan, Bang ATP dan beberapa anggota UKM Musik sebagai *event organizer*, acara ini selalu menarik minat para muda-mudi.
“Akhirnya lu jadi anak hits juga,” Itulah kalimat yang diucapkan oleh Pearwah saat datang ke kafe dan melihatku sudah duduk di sebelah Kak Thana malam ini. Jika aku boleh jujur, ini merupakan pengalaman pertamaku untuk menyaksikannya secara langsung.
Aku memberanikan diri untuk bertanya ke Pearwah, “Siapa sih yang ngisi acaranya malem ini?” dan teman-temanku malah tertawa seolah pertanyaan yang terlontarkan tadi adalah sebuah lelucon. Aku sungguh tidak mengetahui, mungkin lebih tepatnya aku tidak ingin tahu siapa yang akan menjadi bintang tamu di acara regular ini. Simply because I wanted to enjoy my time without being stalked by some perverts, sesederhana itu inginku malam ini. Aku ingin merasakan sebuah kebebasan.
Tidak ada satu pun dari teman-temanku yang menjawab pertanyaanku sebelumnya. Mereka malah sibuk berdebat tentang perbedaan antara genre musik Pop dengan Indie. Aku akhirnya ikut nimbrung juga tanpa mengetahui bahwa mereka sedang merahasiakan sesuatu dariku.
“Kalian mau pesen platter sama lychee tea lagi?” tanya Kak Thana kepada kami yang akhirnya tersadar bahwa tidak ada sisa makanan serta minuman yang tersisa di meja kami. Old habits die hard when you are surrounded by the people who makes you comfortable. Semuanya berlalu dengan cepat saat kita sudah bertemu dengan teman-teman yang memiliki frekuensi sama. Kami pun mengangguk, mengiyakan ajakan Kak Thana untuk memesan kembali amunisi perjulidan malam ini.
Untuk seorang Krit Amnuaydechkorn, berkumpul dengan teman-teman merupakan hal paling bahagia yang selalu ia idamkan selama ini. Tidak banyak waktu yang kuhabiskan di luar rumah kecuali jika aku terpaksa.
Aku lebih suka menghabiskan waktu luangku di dalam rumah, mungkin itu merupakan hal yang membosankan bagi beberapa orang tetapi bagiku rumah adalah tempat satu-satunya dimana aku bisa menjadi diriku sendiri. Tidak ada yang membuntuti. Tidak ada tatapan aneh dan penasaran. Tidak ada bisikan-bisikan. Definisi sebuah ketenangan yang hakiki.
Khalayak umum masih mengira jika seorang Krit Amnuaydechkorn adalah social butterfly. Padahal justru sebaliknya, mereka tidak mengetahui apa yang kusembunyikan di balik topeng ini. Apa jadinya jika dunia mengetahui trauma yang kumiliki bahkan untuk esok hari pun aku masih harus mengonsumsi obat anti-depressant demi mengatasi panic attack yang masih menghantuiku setiap saat.
Ini bermula ketika seseorang yang tidak kukenal menyerangku secara tiba-tiba pukul setengah dua belas malam setelah pulang dari latihan drama dua tahun lalu. Selain itu, tidak banyak yang mengetahui jika aku mengambil cuti selama satu tahun untuk menjalani rehabilitasi.
Awalnya aku tidak ingin mengambil cuti kuliah dan berusaha untuk overcome trauma ini tanpa bantuan professional, namun ternyata aku salah. Trauma yang kuhadapi malah membuatku menjadi mayat hidup dan yang paling parah adalah saat aku sesak napas dan pingsan di tengah presentasi yang sedang kulakukan. Setelah kejadian yang mengemparkan satu kelas, Mama menyarankanku untuk menemui seorang psikiater dan dengan dukungan dari keluarga, aku pun menyetujui untuk rehat kuliah.
“Lagu yang akan gue bawakan hari ini adalah –“
Belum sempat sang penyanyi menyelesaikan kalimatnya, “Billkin!!!” Sorakan nama yang sudah sangat familiar di bibir para pengemarnya terdengar mengema dan membuat suasana kafe semakin ramai padahal jam masih menunjukkan pukul sembilan malam.
“Fansnya Billkin tuh serem banget!” ujar Nana kepada kami. Aku tidak mengetahui apa maksud dari sebuah kalimat yang diucapkan oleh Nana. Melihat fansnya yang begitu banyak, aku merasa sedikit ciut nyali. Apalah aku yang cuma bermodal tampang ini.
“Dua hari lalu, gue ketemu Billkin jalan bareng Parada…” Kak Thana menambahkan sebuah informasi yang bisa menyulut niat-niat para netizen untuk kembali berghibah. Pearwah dan Nana melongo tidak percaya atas apa yang telah mereka dengar sementara aku berusaha untuk menampilkan wajah datarku, tidak ingin terlalu mencolok dan memperlihatkan emosiku yang sebenarnya.
Sejujurnya, aku tidak terlalu berharap kepada Billkin. Kejadian siang ini di mobilnya pun tidak mengerakkan hatiku sama sekali, seolah melalaikan efek kupu-kupu yang kurasakan tadi siang. Aku tidak ingin kecewa.
“Lagu ini kupersembahkan untuk seseorang dan selamat menikmati,” ujarnya dengan suara sedikit lebih rendah melalui mikrofon.
Masihkah ada dia di hatimu bertahta?
Atau ini saat bagiku untuk singgah di hatimu?
Namun siapkah kau ‘tuk jatuh cinta lagi?
Suaranya begitu lembut dan khas. Dengan mudahnya memberikan sensai mengelitik dalam perutku dan membuat jantungku berpacu lebih cepat setiap kali mendengarnya berbicara dengan nada rendah.
Aku mendengarkan suaranya untuk pertama kali saat aku berada di klinik kampus akibat jatuh pingsan di tengah kelas. Namun sangat disayangkan, suara merdunya tidak dipersembahkan untukku. Benar, ia persembahkan hal itu untuk Parada yang sedang sakit dan harus menghabiskan satu harinya di Klinik Kampus. Sosok Billkin yang telah lama kukenal, ia rela melakukan apapun untuk seseorang yang dicintai – yang sedang ia lakukan saat itu merupakan salah satu contohnya.
Aku hanya tersenyum kecut mengingat kejadian tersebut. Terkadang aku berharap jika semesta memberikanku jalan alternative lain agar bisa sedikit merasakan bahagia, but the universe won’t work the way you wanted.
Dan aku tidak pernah memaksakan kehendakku lagi untuk sekedar membuat ia akhirnya melihatku, aku cukup puas dengan apa yang kumiliki saat itu.
Meski bibir ini tak berkata
Bukan berarti ‘ku tak merasa
Ada yang berbeda di antara kita
Salah satu rahasia terbesar lain yang kusembunyikan rapat-rapat adalah perasaanku terhadap lelaki bersuara merdu yang sedang melantunkan lirik lagu cinta di atas panggung sana. Aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengutarakan isi hatiku kepadanya- lebih tepatnya aku tidak ingin menjadi pihak ketiga dalam suatu hubungan.
Aku dipertemukan pertama kali oleh Billkin saat usia kami menginjak pada angka tujuh belas tahun, dimana kami sama-sama mengambil kelas intensif Bahasa Mandarin. Aku sangat bersyukur dengan kedekatan kami, dekat layaknya seorang kakak dan adik dan oleh karenanya aku tidak ingin merusak hubungan yang telah dibangun dengan menyatakan perasaan yang kumiliki saat itu. Fakta bahwa ia sedang berusaha mendekati salah satu teman kelas kami, Parada – juga membuatku mengurungkan niat dan lebih memilih menyimpannya rapat-rapat.
Dengan emosi yang bisa berubah menjadi carut-marut di usia tujuh belas, aku dengan sukarela mengubur dalam-dalam cinta pertama ini. Aku tidak ingin hal ini bisa menjadi penghalang atas hubungan-hubungan yang akan terjalin di masa depan. Aku, juga tidak ingin, untuk menutup semua pintu kesempatan- hanya karena aku menunggunya dan aku sangat memahami bagaimana hatiku bekerja.
Dan tak mungkin ‘ku melewatkanmu hanya karena
diriku tak mampu untuk bicara
Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku
Aku tidak mengelak jika pernah berpikir untuk menjadi pihak ketiga daripada harus kehilangan kesempatan bersamanya. Nihil. Takdir tidak membiarkanku menjadi tokoh antagonis dan aku pun harus menerima kenyataan tersebut. Berbagai cara kulakukan untuk menetralkan perasaan hingga aku mencapai titik ini – dimana aku sudah cukup kuat untuk tidak membuka kembali kotak Pandora yang telah lama dikubur.
“Beruntung banget sih orang yang ditaksir sama Billkin tuh.” Aku berharap tidak ada
yang mendengarkan ucapan dari bibir mungil milik Pearwah malam ini. Siapapun ia, semoga kau bisa membahagiakannya dan aku sudah memutuskan untuk tidak merasa sedih malam ini.
Aku sama sekali tidak melihat ke arah panggung. Pertahananku tidak cukup kuat untuk hal itu.
Kini ‘ku tak lagi dengannya
Sudah tak ada lagi rasa antara aku dengan dia
Seolah berusaha menyampaikan sesuatu kepada seseorang, ia menyanyikan lirik lagu dengan penuh perasaan. Suaranya menyihir seluruh pengunjung kafe, membuat suasana kafe yang semula riuh menjadi tenang.
Tersirat banyak emosi saat ia membawakan lagu ini. Entah untuk siapa – hanya Billkin yang mengetahui.
Siapkah kau bertahta di hatiku Hai Cinta
Karena ini saat yang tepat untuk singgah di hatiku
Namun siapkah kau ‘tuk jatuh cinta lagi?
‘Ini pertanyaan yang kau khususkan untuk siapa, Kin?’ batinku.
Mengingat perkataan dari Kak Thana dan kejadian siang hari, sepertinya mustahil dan overconfident jika lagu ini untukku. Mungkin saja ia tak sengaja mencium pipiku karena memang tidak sengaja, bukan karena memiliki perasaan yang sama kepadaku. Toh, jika ia akhirnya menyadari dan membalas perasaanku- seharusnya ia sudah melakukannya sejak lama, bahkan saat aku berada di klinik kampus pun, ia bisa meluangkan sedikit waktunya untukku barang semenit. Nyatanya, skenario yang kuinginkan tidak pernah terjadi.
Dan tak mungkin ‘ku melewatkanmu hanya karena
Diriku tak mampu untuk bicara
Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku
Tahun ini, aku sudah bertekad untuk mengambil program pertukaran pelajar ke Amerika. Niat itu telah menjadi bulat setelah acara malam malam bersama dengan Kak Thana dan Bang Jaylerr seusai resital. Seolah tersihir oleh cerita Bang Jaylerr saat ia sedang menjalani exchange programme. Aku juga ingin merasakan kontrasnya keadaan di luar sana dengan kota yang kutinggali saat ini. Aku ingin menemukan diriku, melalukan banyak hal yang seharusnya bisa kulakukan disini namun masih gagal karena aku masih belum sepenuhnya pulih dari bayang-bayang hitam. Aku sangat ingin membuka lembaran baru dan tidak kembali ke tempat yang memberikan sedikit banyak sumbangsih atas keadaan yang kualami saat ini.
‘Aku memang sengaja ingin melewatkanmu, Kin’ batinku saat ia menyanyikan lirik berikutnya dari lagu yang akan menjadi lagu yang paling dibenci dalam playlist Krit Amnuaydechkorn.
Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, tidak di saat aku sudah cukup kuat dan perlahan berhasil overcome trauma yang kumiliki. Di sisi lain, aku juga khawatir apabila ia harus mengetahui fakta bahwa aku memiliki masalah psikologi. Masih belum banyak yang mengetahui jika bayang-bayang stalker masih sering menghantuiku, terutama di malam hari dan hyperventilation still occurred.
Bagaimana reaksi Billkin? Apakah ia harus berubah demi Billkin? Apakah ia harus memulai menaruh kepercaayan pada Billkin? Ia tidak terlalu yakin Billkin akan menjaga hatinya, cukup sekali ia patahkan hatinya dengan suka rela. Sementara ini, ia masih menikmati proses untuk menjadi lebih baik. Ia juga ingin melakukan hal itu sendiri – sebagai suatu penghargaan atas dirinya, berterima kasih dan mulai menyayangi diri sebagaimana mestinya.
“Udah jam 12 nih… Gue duluan, ya?” pamit Nana yang disusul oleh Pearwah. Kini hanya tinggal aku dan Kak Thana. Ia masih betah untuk nongkrong disini bahkan sampai kafe tutup pun akan dijabanin olehnya, maklum ada Bang Jaylerr yang selalu siap sedia mengantarkan kekasih tercintanya ini.
“Lu ga pulang, Krit?” tanya Pearwah sembari membereskan barang-barangnya dan menunggu Nana yang sedang ke toilet.
“10 menit lagi… Nanggung bange, Kak!” jawabku. Aku merasakan ada tatapan yang diarahkan kepadaku, namun aku terlalu takut untuk menyadari hal itu. Sang penyanyi yang akan menyelesaikan lagunya, kini memperhatikanku dengan hati yang sedikit gelisah dan meyakinkan diri jika aku tidak akan kabur dan ia masih memiliki kesempatan untuk mengutarakan maksudnya.
Aku bisa saja kabur ditengah penampilannya tadi, nyatanya tidak kulakukan. Nyatanya, aku lebih memilih tinggal dan mengajak Billkin untuk pulang bareng daripada harus memesan taksi online yang dikendarai oleh orang tak dikenal. Ini sudah tengah malam, pantaslah aku mulai khawatir berlebih.
“Krit!!! Oi!!!” Aku refleks menoleh ke sumber suara yang memanggil namaku, ternyata itu Paris.
“Lo nonton acara dari awal kenapa ga ketemu gue sih?” tanya Paris tanpa memperhatikan bahwa Kak Thana juga ada situ, berani-beraninya.
“Ya bisa lah! Orang dia ama gue dari tadi,” sahut Kak Thana agak judes, maklum dua orang ini terkenal sebagai Tom & Jerry-nya kampus. A************nnya sih klasik, karena Paris terlalu tengil untuk Nana. Iya, sebelum akhirnya mendapatkan restu dari Kak Thana – Paris yang saat itu berusaha untuk mendekati Nana harus rela berdebat kusir dengan Kak Thana terlebih dahulu. Sesayang itu Kak Thana kepada sahabat-sahabatnya.
“Lo mending pulang bareng gue aja daripada nunggu yang ga jelas,” ucapnya sedikit pelan. Ia takut Kak Thana mendengar perkataanya dan malah menyulut keributan alias bickering without no ends.
“Kak, gue pulangnya bareng Paris aja ya…” Aku berpikir sejenak dan menimbang-nimbang perkataan dari Paris tadi. Ada benarnya juga. Aku yakin pasti sudah ada penumpang lain yang siap menjadi teman perjalanan Billkin, dan itu bukan aku. Tanpa preambul, aku segera mengemasi barang-barang dan berjalan cepat ke arah pintu keluar.
Persetan dengan Billkin! Aku tidak ingin menanggung sakit hati dan lebih memilih untuk jalan alternatif lain yang membuatku sedikit lega. Untungnya, Kak Thana hanya menganggukkan kepalanya. Menandakan bahwa ia memberikan izin.
Pikirlah saja dulu
Hingga tiada ragu
Agar mulus jalanku
Melangkah menuju ke hatimu
Aku sedang menunggu Paris untuk mengeluarkan mobilnya dari parkiran saat merasakan ada seseorang yang berdiri di sampingku. Dari aroma parfumnya, aku sudah tahu itu dia tetapi aku tidak memiliki keberanian satu persen pun untuk menoleh ke samping. Ia tetap saja melantunkan lirik lagu dengan lugas tanpa tersirat rasa lelah dalam nada suaranya walapun waktu menunjukkan pukul satu lebih tiga puluh menit dini hari.
“Gue pulang duluan.” Tanpa tanda tanya, hanya fakta yang kusampaikan bahwa aku akan pulang dengan orang lain bukan dia. Lagi-lagi, aku memilih jalan *alternative* lain demi menyelamatkan diri dari perasaan-perasaan aneh *nan* menyesakkan.
Grep.
Langkahku terhenti saat ia mencoba menarik tangan kananku, memberi isyarat untuk tidak meninggalkan tempat tanpanya. Kenapa? Hal gila apa yang akan terjadi, yang akan ia lakukan setelah ini.
“Siapkah kau ‘tuk jatuh cinta lagi?” Matanya menatapku – berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang ia lontakan tadi. Sementara aku menutup mata rapat-rapat dan mengatur napas, aku sungguh tidak ingin berharap padamu lagi. Hanya itu mantra yang mampu kuucapkan dalam hati.
Ia ucapkan lagi kalimat yang berhasil membuat kupu-kupu di perutku berterbangan, kali ini dengan sedikit nada memohon. Ia sedikit meremas tanganku, seolah ingin aku segera menjawabnya. Aku hanya terdiam, tidak membuka mata sama sekali hingga suara Paris merenggangkan genggamannya.
“Good night, Kin” ucapku pelan.
Sepanjang perjalanan pulang, aku masih mencoba memahami maksud dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Billkin. Apakah lagu itu untukku? Apakah akhirnya dia mengetahui perasaanku? Dari siapa? Banyak hal yang kupikirkan malam ini.
“Billkin tuh udah lama naksir lo,” jelas Paris. Semua orang juga mengetahui hal ini, maksudku orang-orang – terutama dari UKM musik suka sekali menjodohkanku dengan Billkin. Entah memang ia benar-benar memiliki perasaan terhadapku atau hanyalah sebatas lelucon karena ia selalu gagap saat berada di dekatku.
“Dia pernah cerita kalo kalian sempet deket pas ******A ya?” tanya Paris. Aku hanya mengangguk tanpa memberikan penje************n bagaimana kami bisa dekat lalu menjadi strangers. Biarkan ini menjadi cerita untuk pengalamanku di masa depan, tidak baik jatuh hati kepada teman terlebih jika teman tersebut lebih memilih untuk melabuhkan hatinya kepada orang lain.
“Lagu tadi buat lo…” Seperti tersambar petir di siang bolong, aku refleks menoleh ke arah kursi pengemudi. Memastikan kembali bahwa pendengaranku masih normal dan yang dikatakan oleh Paris benar adanya.
Hatiku mencelos melihat ba************n dari Billkin. Ia juga mengajukan *exchange programme*. Itu artinya kami tidak akan saling bertemu dalam kurun waktu tertentu. Harusnya aku senang karena doaku akhirnya terdengar namun aku malah merasakan perih di ulu hati.
Bila kau jatuh cinta katakanlah jangan buat sia-sia
Bila kau jatuh cinta katakanlah jangan buat sia-sia
“Dia mendaftar pertukaran pelajar juga ke USA.” Sebuah fakta baru yang kudengar dari Paris dan seolah ia tahu apa yang sedang aku pikiran saat ini. Aku sedikit lega mendengar bahwa ia memilih Negara yang sama denganku untuk exchange programme. Paling tidak, aku masih memiliki kesempatan meskipun hanya sebesar nol koma nol satu.
Aku mendengar suara bel berbunyi nyaring, menandakan bahwa ada seseorang di depan pintu.
“Itu pasti Billkin..” Aku tersenyum dan berlari kecil ke arah pintu untuk mempersilahkan ia masuk.
Wangi parfumnya yang familiar menyeruak, memenuhi indera penciumanku.
Ia memakai kaos hitam, celana pendek serta kaca mata. Membuatnya terlihat sederhana, seperti rumah yang selalu menjadi impianku.
Manik mata kami saling bertemu, saling beradu argumen dalam diam. Hingga aku merasakan jantungku yang bergemuruh begitu keras, ada daya gravitasi yang ingin membuat pertahananku runtuh. Aku berniat untuk segera melepaskan topeng dan membuatnya melihat seorang Krit Amnuaydechkorn yang sebenarnya. Aku tidak pe************ jika akhirnya kami akan kembali menjadi orang asing, atau lebih parahnya ia akan menjauhi dan memusuhiku. Aku sungguh tidak pe************ karena yang kuinginkan saat ini hanyalah memeluknya.
Aku ingin memeluknya untuk pertama dan terakhir kali sebelum aku memilih untuk menyudahi perjuanganku. Aku ingin menyampaikan rasa cinta, kagum, takut, khawatir, dan trauma yang kumiliki padanya. Perlahan kupangkas jarak antara diriku dengannya, memberanikan diri untuk menatap manik matanya – melihat lebih dekat emosi yang sedang ia mainkan disana.
Aku melihat secerca rindu, kegembiraan dan permohonan maaf pada kedua obsidian miliknya. Untuk apa? Akan kutanyakan hal ini jika aku masih memiliki ketitik keberanian. Aku pasrah walaupun diriku dengan egoisnya tetap memangkas jarak kami hingga bisa merasakan napasnya.
“Siapkah kau ‘tuk jatuh cinta lagi?” Manik mata kami saling beradu. Sedikit demi sedikit garis senyum terbentuk di wajahnya. Memberikan assurance bahwa hal yang akan terjadi selanjutnya tidak akan meluluh lantahkan pertahananku.
“Yes, I do…” Aku meleburkan diriku dalam pelukannya. Menghirup banyak-banyak wangi parfumnya, akan kucatat dalam jurnalku bahwa parfum Billkin adalah *anti-depressant* terampuh.
Seluruh prasangka yang kumiliki lenyap. Tidak ada lagi rasa khawatir; tidak ada lagi rasa nyeri di ulu hati saat mengetahui bahwa ia masih berhubungan baik dengan Parada, cinta pertamanya dan tidak ada lagi topeng-topeng yang membuat diriku susah bernapas.
Aku bebas dan kini aku mempunyai tempat untuk pulang.
Rumah impianku. Rumah yang sangat nyaman untuk ditinggali dalam kurun waktu tak terhingga. Aku tidak perlu susah untuk menjadi orang lain di dalam rumahku, cukup menjadi diri sendiri saja.
Rumahku yang kini dipenuhi oleh canda dan tawa, tidak lagi terasa sepi layaknya kuburan Belanda. Rumah yang sudah sangat familiar di telinga dan lidahku, aku sangat fasih untuk mengucapkannya dan tak pernah lelah untuk menyebutnya dalam setiap doaku. Rumahku – Billkin yang akan selalu siap sedia untuk menemaniku dalam keadaan suka dan duka.
Kini, aku memiliki banyak waktu untuk kubagi dengannya. Menciptakan memori-memori sederhana nan indah. Entah hanya untuk sekedar menonton film atau bahkan berkendara ke suatu tempat tanpa tujuan sambil mendengarkan playlist favourite. Juga, akan selalu ada genggaman hangat yang menyemangatiku saat *panic attack* mulai menyerang.
Billkin – rumahku sekarang, esok, dan selamanya.
Series this work belongs to:
- ← Previous Work Part 2 of BKPP Oneshots Next Work →
暂无评论内容